Ujian Nasional : antara Alat ukur Obyektif dan Ritual Tahunan
Siapa yang tak ingin dipuji karena berprestasi. Siapa juga
yang tak ingin dinilai kualitasnya meningkat. Dua hal tersebut merupakan
sesuatu yang membanggakan. Namun bagaimana jika keduanya berada pada dua sisi
yang saling bertolak belakang.
Dua hal yang saling bertolak belakang ini menyatu dalam
dunia pendidikan. Di satu sisi, pemerintah membuat aturan bahwa agar seseorang
bisa menyelesaikan satu tingkat pendidikan ia harus memenuhi standar kemampuan
minimal. Standar minimal ini diukur dengan suatu sistem yang bernama Ujian
Nasional. Memang UN bukan satu-satunya ukuran, karena masih ada elemen lain
yang menjadi alat ukur. Namun UN ini menjadi krusial karena dilakukan secara
bersamaan dalam satu jenjang pendidikan tertentu. UN juga dilakukan hanya
beberapa hari saja.
Pemerintah memiliki fisi bahwa standar kemampuan ini suatu
ketika harus setara dengan standar kemampuan negara-negara maju. Oleh karena
itu dari tahun ke tahun standar kelulusan pendidikan terus meningkat. Dengan
peningkatan ini diharapkan akan menghasilkan tenaga kerja yang bermutu sehingga
bisa mendorong pertumbuhan nasional.
Di sisi lain, siapa yang ingin disebut gagal? Rasanya tak
ada orang yang bangga jika disebut gagal. Semua orang ingin disebut berhasil.
Atau minimal sejajar dengan mayoritas lainnya. Maka orang mencoba melakukan apa
yang terbaik. Jika kita berbicara dalam konteks pendidikan, akan ada faktor
lain yaitu kualitas anak didik yang masuk. Yang menjadi persoalan adalah jika
kualitas input ini berada dibawah rata-rata. Maka hasilnya sulit untuk menjadi
maksimal.
Jadi sebenarnya ada sebuah ambigu dalam dunia pendidikan,
terutama untuk sekolah non unggulan. Di satu sisi mereka ingin prosentase
kelulusannya maksimal. Dinas pendidikan setempat tentu juga memberikan target ini,
supaya mendapat pujian dari dinas pendidikan pusat. Di sisi lain sebagian
sekolah mendapatkan input siswa yang kualitasnya belum tentu baik.
Di sinilah gagasan-gagasan mengenai kecurangan itu muncul.
Lalu muncul juga prinsip yang menyimpang: kejahatan bukanlah kejahatan jika
tidak ketahuan. Ini adalah sebuah godaan. Rasanya bukan hal yang aneh jika ada
oknum-oknum terkait yang kemudian menganjurkan untuk berbuat curang. Dari
kecurangan berupa trik-trik menyembunyikan contekan sampai kecurangan berupa pembiaran
terjadinya kecurangan itu sendiri.
Lalu jika mau disimpulkan: target peningkatan standar nilai
kelulusan bisa jadi hanyalah sebuah ilusi, sebuah tipu-tipu, sebuah kebohongan,
sebuah lelucon yang tak lucu, karena pada akhirnya ada beberapa oknum yang
membuka diri terhadap kecurangan